Kamis, 19 Februari 2009

Kopi

Selama beberapa hari, ibu merasa pusing yang luar biasa, badan juga kondisinya tidak bisa dibilang sehat. Setelah periksa ke dokter, diketahui tekanan darah dan gula ibu tinggi. kami sekeluarga khawatir sekali, apalagi bapak, yang sudah 24 tahun menemani lebih dari separuh perjalanan hidup ibu.
Selain beberapa makanan yang dilarang, ada satu hal yang mungkin agak susah. Ibu dilarang minum kopi, atau paling tidak sebisa mungkin menghindarinya. Aku yang mungkin lebih syok. Di rumah, aku dan ibu penyuka kopi. Tak bisa kubayangkan akhirnya aku sendirian yang minum minuman yang sudah mengalir bersama darah dalam tubuhku sejak aku masih baby.
Rasanya tidak enak minum kopi tanpa ada yang biasanya menemani dan berbagi “kopi persatuan”, segelas kopi untuk berdua. Akhirnya aku memutuskan tidak meminum kopi sama sekali. Sebagai pengganti, aku mulai minum instan jahe yang dibuat ibu.
Aku tidak tahu gimana perasaan ibu, ataupun menanyakannya, tapi ada ekspresi tak terbaca saat aku selalu membuat minuman jahe atau bilang tidak ketika ditanya mau membuat kopi atau tidak.
Mungkin akhirnya ibu yang tidak tahan melihatku, atau kasihan mengetahui aku tidak mengijinkan setetespun cairan kopi mengaliri tenggorokanku, pagi itu ibu menawarkan diri membuatkanku kopi. Aku agak terkejut tapi membayangkan ibuku yang already addicted to coffee gak akan minum, aku bilang tidak usah.
Bukannya terharu, simpati atau tersentuh, rekan-rekanku malah tertawa mendengar penolakanku.

Bojo lan Jodoh

Lebaran tahun kemarin, keluarga kami mengunjungi seorang kenalan baik yang sangat kami hormati. Sepasang suami istri itu sudah agak tua, jadi seperti biasa mereka memberi petuah mengenai hidup pada kami tiga bersaudara (aku dan adik-adikku) yang menurut standar para orang-orang sepuh masih “bayi”, “hijau” dan belum banyak merasakan asam garam kehidupan.
Yang paling membuatku terkesan waktu si bapak berkata dalam bahasa Jawa, “ Ojo nggolek bojo, nanging jodoh (Jangan mencari suami/istri, tapi carilah jodoh atau belahan jiwa)”
Aku sebegitu terkesannya sampai-sampai benar-benar ku patri kalimat indah itu dalam hati. (Ah, sebagian karena kalimat yang diucapkan dalam bahasa Jawa itu begitu menggugah dan mengena. Sekali lagi aku diingatkan betapa bahasa Jawa itu meski complicated namun adiluhung (lagi-lagi aku mencomot kalimat si bapak)).
Allahualam, kalimat itulah yang dalam hitungan jam kemudian mengubah hidup dan pandanganku selamanya, mengajariku pengalaman dan cara pandang lebih baik dari pada 22 tahun umurku mengajariku. Dalam hitungan jam, takdir mempertemukanku dengan orang-orang yang memberiku pengalaman dan kenangan berharga yang tak ternilai harganya, yang meruntuhkan segala praduga dan opini yang sebelumnya aku anut kuat-kuat, yang pada akhirnya membuatku setuju dengan lirik lagu Daughtry “Home”, “Be careful what you wish for, cuz you just might get it all, then some you don't want.”

Blackout

It's totally annoying when blackout occurs, especially when your mobile is low battery, there's show on TV that you wanna watch, and no music fills the house. Overall, it sucks.
But during those annoying moments, I come to recognize some things that completely unnoticed when the electricity is on, lights on everywhere, radio is tuned and music instruments are played.
Positioned inside the house, we the family members are able to hear people talk and their various voices outside, the wind howl and rustle, the birds chirp, and the sound of the nature. It's pretty weird and creepy sometimes, but at other times it brings peacefulness.

Kalau jadi orang Jepang

Once upon a time, ada topik kayak gini di sebuah stasiun radio di Surabaya. “Kalau kamu jadi orang Jepang, kamu pengen jadi siapa?”
Waktu itu aku lagi suka-sukanya sama manga dan anime Bleach. Jadi aku sms “Kalau aku orang Jepang, aku pengen jadi pacar atau istrinya Tite Kubo, jadi aku tahu jalan ceritanya Bleach duluan dari orang lain, ehehe.”

Pembagian rapor

Aku harap-harap cemas menantikan hari pembagian rapor. Senang karena jika ini sudah selesai, gak ada tanggungan lagi. Tapi cemas juga karena harus ngadepin orang tua murid.
Begitu rapor dibagikan, aku mendapat banyak kejutan. Aku sudah familiar dengan Sebagian orang tua murid, jadi ya biasa-biasa saja. Tapi sebagian dari mereka membuatku terkejut.
Ada seorang laki-laki yang aku taksir umurnya awal 30an. Pertamanya aku pikir dia mau mengambil rapor adiknya. Tapi setelah berbasa-basi (aku heran dan kagum pada diriku sendiri, bisa-bisanya aku red red lips alias did small talk alias chit chat) sampai dia bilang dia bapaknya salah satu muridku. Di benakku, dia masih muda banget untuk jadi bapak dari anak 9an tahun (beberapa hari kemudian rekanku bilang kalau anaknya yang paling tua baru aja lulus sd. @jaw dropped mode on).
Seorang wanita mendekati atau sudah separuh baya maju. Aku pikir dia nenek muridku. Red red lips lagi aku tanya “anakku”, “Ibumu ya, Slamet?” tak ada prasangka sebelumnya kalau itu benar. Si ibu menjelaskan kalau anak-anaknya sebelum Slamet semuanya meninggal dalam kandungan. Baru setelah berumur, Yang Di Atas memberinya seorang anak laki-laki imut yang dinamai Slamet, secara harfiah maupun tidak.
Mendekati berakhirnya acara ini, aku mempermalukan diriku sendiri. Ketika memanggil nama terakhir di daftar absen, wanita muda yang umurnya tak jauh berbeda denganku menghampiri mejaku. “Kakaknya ya?” aku bertanya.
“Bukan Bu, saya ibunya.”
If shame could kill, definitely I'd be gone at that straight moment.

Forbidden literature since twilight kisses the earth

Sepupuku suka banget ma Death Note. Dia ngoleksi serial manga ini. Sebagai orang biasa yang harus pandai-pandai manfaatin keadaan karena dompet yang meskipun tebel tapi isinya kebanyakan kartu nama atau bon laundry dan foto box, fulus yang harus ditabung jauh-jauh hari kalo pengen beli buku atau bacaan lainnya (selain habis buat jajan sih), demi memuaskan hasrat terhadap manga terkenal ini, aku pinjem ma dia.
Waktu aku baca manga ini, hari sudah malam. Aku sih gak ngerasa takut atau parno, toh ini bukan serial misteri. Gak taunya, malamnya aku mimpi buruk. Nightmare, kalau minjem istilahnya orang luar sana. Ngimpi gak jelas yang berujung ketemu sama si Shinigami yang punya Death Note yang sekarang ada di tangan Light Yagami, Ryuk. Hyaaaaaaaaaaaaaaa................... bisa-bisanya aku ketemu dewa Kematian.
Sejak saat itu, begitu malam menjelang, bacaan menyeramkan atau yang genrenya mystery atau supernatural jadi haram buat aku. No way. Begitu terus sampai Twilightnya Stephanie Meyer ada di rumah.
Buku tentang kisah cinta seorang gadis manusia biasa dengan vampir ini menarik. Bagian romansnya aku skipped, langsung jumped ke bagian gimana Carslise, Edward, Alice, dkk metamorfosis dari manusia ke vampir, sampai chapter Bella diburu James. Gimanapun menariknya, terpaksa kututup buku ini karena malam sudah larut banget.
Tiba-tiba aku berada di hutan. Habis lari tapi kemudian berhenti untuk minum. Gak tahu kenapa mesti lari, tapi tiba-tiba bayangan James melintas? What? Aku dikejar salah satu vampir pemburu terbaik? How come? Gemetaran, langsung aja lari lagi. Untung sebelum ketangkep, aku berada di kamarku lagi.
Fyuh, untung cuma mimpi. Tapi takut juga. Bukan, bukan takut lagi, tapi amat sangat ketakutan sekali.
Aku sampai heran sendiri.kok bisa sih baca romans ini sampai terbawa mimpi. Yah, seperti yang terjadi sehabis peristiwa Death Note dulu, Twilight hanya kubaca sebelum twilight (rembang petang) menjelang. Yang minjemi aku novel ini malah meledekku. “gak papa, James kan cakep,” katanya. Gak mau lagi ah mimpi dikejar vampir, sekalipun cakepnya minta ampun.

Yoyong Burhanuddin

Bapak tiap pagi mendengarkan siaran berita di suatu stasiun radio di Surabaya. Dia berkata kalau salah satu penyiarnya pintar sekali, namanya Yoyong Burhanuddin. Karena penasaran, akhirnya stasiun radio yang biasanya aku dengerin sambil lalu, pagi itu kudengarkan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya.
Jujur saja, radio itu bukan pilihan pertama yang akan ku set, atau sesuai seleraku. Isinya berita melulu, lagu-lagunya jarang, old songs lagi. Aku masih seneng radio yang nyiarin banyak lagu, apalagi yang baru-baru.
Akhirnya aku ngerti kenapa Bapak bilang Yoyong smart. I was just mesmerized. Suaranya dalam, caranya ngomong enak didengerin, nada suaranya oke, responnya terhadap suatu kabar cool, opininya cerdas. Intinya, dalam pendengaranku (bukannya pengamatan berdasarkan penglihatan kayak yang umumnya terjadi, karena aku gak pernah bertatap muka atau ngeliat wajahnya) aku bisa menarik kesimpulan kalau opini (atau fakta ya?) yang disampaikan Bapak mengenai Yoyong bukan isapan jempol saja.
Yoyong luar biasa pintar. Bahkan menurut beberapa pendengarnya, ada tawaran untuk menduduki salah satu jabatan paling penting di negeri ini mampir padanya. Bahkan aku juga mendengar sendiri, di musim kampanye dan caleg ini, kalau banyak tawaran untuk jadi kandidat caleg dialamatkan padanya.ck ck...
Pagi itu juga, aku langsung ngefans sama dia. Mungkin ini ya yang disebut cinta pada pendengaran pertama. Kalau ada perumpamaan seperti itu sih, ehem.